Konflik Antar Suku di Indonesia
Dalam hidup berbangsa, pembangunan konsensus seringkali tidak mudah dicapai. Konflik adalah produk dinamika hubungan antarkelompok, sama halnya dengan konsensus. Konflik dan konsensus muncul bergantian dan sekaligus menandai dinamika hubungan antar kelompok di dalam masyarakat.
Umumnya,
konflik termanifestasi ke dalam dua bentuk. Pertama, konflik yang berlangsung
damai tanpa menyita cost material dan spiritual seperti kerusuhan, kehilangan
jiwa, cedera fisik, terputusnya hubungan antarkeluarga dan sejenisnya. Konflik
semacam ini sifatnya negosiatif dan justru inheren bahkan dianjurkan dalam
kehidupan bernegara, terutama dalam praktek-praktek demokrasi liberal. Kedua,
konflik yang berwujud vandalistik dan violence. Konflik-konflik seperti ini
yang kerap menggelisahkan mayoritas masyarakat dan para pemimpin Indonesia.
Beragamnya suku di
Indonesia terkadang melahirkan sebuah peperangan yang biasa kita sebut dengan
perang antar suku. Alasan peperangan itu sangatlah bermacam-macam. Menurut
badan riset, data suku-suku yang ada di Indonesia mencapai kurang lebihnya
lebih dari 300 kelompok suku atau etnik. Jumlah suku bangsa yang mencapai
ratusan inilah pada kenyataannya memang sangat rentan akan terhadap sebuah
konflik. Dan perang antar suku pun pada akhirnya menjadi suatu hal perstiwa
yang memang tidak bisa dihindarkan lagi. Dari sekian banyak suku di Indonesia,
suku Jawa adalah kelompok suku yang paling besar dengan mencapai jumlah 41%
dari total populasinya.
Suku-suku terpencil
di Kalimantan dan Papua, memiliki populasi yang kecil yang beranggotakan ratusan
orang saja. Banyak atau sedikitnya kelompok suku ternyata berpengaruh terhadap
perang antar suku tersebut. Konflik merupakan hal atau masalah yang lazim atau
biasa terjadi di lingkungan masyarakat. Dimana lagi-lagi perbedaan menjadi
latar belakang yang mendasar dalam setiap konflik perang antar suku di
Indonesia.
Perang antar suku di
Indonesia yang sempat menarik perhatian dan perbincangan ini adalah perang yang
dilakukan antara Suku Dayak dan Suku Madura. Dengan timbulnya peperangan antara
Suku Dayak dan Suku Madura ini banyak menimbulkan pergeseran moral tentang
seharusnya bagaimana manusia saling menghargai dengan adanya perbedaan
tersebut. Pada saat itu nyawa bukanlah harga mati dan mahal untuk
diperjuangkan, melainkan pemenggalan terhadap kepala-kepala manusia waktu itu
menjadi bukti kebencian, seolah hal itu sudah membutakan mata hati nurani
manusia-manusia Indonesia saat itu. Dimana perang antara kedua suku ini sungguh
amat mengerikan dan tidak layak untuk bangsa Indonesia ini yang mana negara ini
bermayoritaskan agama Islam tetapi aqidah-aqidah dalam Islam tidak pernah
diterapkan dalam diri manusia-manusia itu dan lingkungannya. Bahkan aqidah saat
itu pun sudah tidak ada lagi karena setan yang merasuki manusia begitu keji dan
jahat sehingga tega melakukan hal seperti itu terhadap sesama manusia.
Perang yang terjadi
antara Suku Dayak dan Suku Madura memang telah lama berlalu, namun kini telah
menorehkan luka mendalam bagi keluarga-keluarga yang menjadi korban kebiadapan
manusia saat itu dan juga meninggalkan kesan mendalam yang mengerikan bagi
masyarakat kedua suku tersebut.
B. Perang Antar
Suku - Pertikaian Suku Dayak dan Suku Madura
Setidaknya sudah
terjadi dua kali kerusuhan besar antara Suku Dayak dan Suku Madura, yaitu pada
peristiwa Sampit (2001) dan di Senggau Ledo (1996). Kedua kerusuhan besar ini
meluas sampai keseluruh wilayah Kalimantan dan berakhir dengan pengusiran
ribuan warga Madura yang hingga mencapai 500-an jiwa. Perang kedua suku ini
telah menjadi masalah sosial yang me-nasional.
Berikut empat hal
mendasar yang menjadi penyebab terjadinya perang ke dua suku ini,
yaitu :
1. Perbedaan
Budaya Antara Suku Dayak dan Suku Madura
Perbedaan budaya
seperti inilah yang menjadikan alasan mendasar mengapa perang antar suku ini
bisa terjadi. Masalah yang terjadi antara Suku Dayak dan Madura terbilang
sangat sederhana, karena ada keterkaitan dengan kebudayaan, maka terjadilah hal
seperti itu.
Misalnya seperti
permasalahan senjata tajam, bagi Suku Dayak senjata tajam sangatlah dilarang
untuk dibawa ke tempat umum. Menurut mereka apabila ada sesorang membawa
senjata tajam ditempat umum sekalipun dia hanya bertamu tetap saja dianggap
sebagai ancaman atau ajakan untuk berkelahi. Lain halnya dengan Suku Madura
mereka biasa menyelipkan senjata tajam itu kemana saja dan hal seperti itu
lumrah di daerah kelahirannya di Madura. Menurut Suku Dayak senjata tajam
bukanlah untuk melukai sesorang apabila hal tersebut sampai tejadi maka hukum
adat pun berlaku bagi pelakunya.
2. Perilaku
yang Tidak Menyenangkan
Bagi suku Dayak
mencuri barang seseorang dalam jumlah banyak adalah hal yang tidak masuk akal,
apabila dilanggar pemilik barang tersebut akan sakit dan meninggal. Sementara
orang Madura seringkali terlibat kasus pencurian dengan korbannya suku Dayak.
Pencurian seperti inilah yang menjadi pemicu polemik perang antar suku tersebut.
3. Pinjam
Memimjam Tanah
Kali ini masalahnya
masih berkaitan dengan adat-istiadat atau kebiasaan. Di dalam suku Dayak
membolehkan pinjam meminjam tanah adalah hal yang tanpa pamrih. Dengan
kepercayaan lisan orang suku Madura dibolehkan untuk menggarap tanah tersebut,
namun seringkali orang Madura menolak mengembalikan tanah pinjaman tersebut
dengan alasan karena merekalah yang menggarap tanah tersebut selama ini.
Di dalam suku Dayak
hal seperti ini disebut dengan balang semaya (ingkar janji) yang
harus dibalas dengan kekerasan, maka terjadilah perang yang tidak bisa
dihindari lagi oleh ke dua belah pihak suku tersebut.
4. Ikrar
Perdamaian yang Dilanggar
Dalam suku Dayak
ikrar perdamaian harus bersifat abadi. Pelanggaran akan dianggap sebagai
pelecehan adat sekaligus menyatakan permusuhan. Sementara orang Madura
melanggar ikrar perdamaian, dan lagi-lagi hal seperti inilah yang memicu
konflik antar ke dua suku.
C. Perbedaan
Stereotipe
Stereotipe itu sendiri adalah
pendapat atau prasangka mengenai orang-orang dari kelompok tertentu, dimana
pendapat tersebut hanya didasarkan bahwa orang-orang tersebut termasuk dalam
kelompok tertentu tersebut. Stereotipe dapat berupa prasangka positif dan
negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan
diskriminatif. Sebagian orang menganggap segala bentuk stereotipe negatif.
Stereotipe jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang
benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang.
Setiap suku tentu
memiliki adat-istiadat dan kebiasaan tertentu yang beragam. Keanekaragaman
tersebut tentu memabawa dampak dan kosekuensi sosial yang beragam pula. Jika
hal ini tidak dapat disikapi dengan baik maka perbedaan tersebut justru akan
terus manjadi faktor utama penyebab terjadi perang antar suku.
Contoh yang sangat
nyata yang dapat kita lihat adalah stereotipe orang Madura yang identik dengan
watak kasar dan keras. Yang sering menyelesaikan masalah dengancarok,
mengakhiri sengketa dengan duel maut yang berujung kematian. Latar belakang
penyebab adalh dendam dan kerabat atau keluarga yang terluka.
D. Unsur-unsur
Pembentuk Identitas Nasional
Identitas nasional
merujuk pada suatu bangsa yang majemuk. Kemajemukan itu merupakan gabungan dari
unsur-unsur pembentuk identitas, yaitu:
·
Suku Bangsa
Suku bangsa adalah
golongan yang bersifat ada sejak lahir, yang sama coraknya dengan golongan umur
dan jenis kelamin.
·
Agama
Sesuai dengan
fundamental falsafah Indonesia yakni Pancasila, sila pertama "Ketuhanan
yang Maha Esa" dalam sila ini terkandung bahwa Negara kita
didirikan atas dasar agama dan warga negaranyapun wajib memilih 1 diantara 5
agama yang ada di Indonesia.
·
Kebudayaan
Kebudayaan adalah
pengetahuan manusia sebagai makhluk social yang isinya adalah
perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan
oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang
dihadapi dan digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk bertindak (dalam
bentuk berkelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang
dihadapinya.
·
Bahasa
Di Indonesia terdapat
beragam bahasa beserta logatnya. Kita ingat dengan peristitwa histories pada
tahun 1928 golongan pemuda Indonesia menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan melalui peristiwa historis yang disebut sumpah pemuda.
sumber
: http://edisugiartonos.blogspot.com/2012/01/konflik-suku-dayak-dan-madura.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar